0
RIWAYAT HIDUP SULTAN 

" .... Pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda.... ,Kerajaan Aceh termasuk Lima Kerajaan Terbesar di Dunia... "

Snouck Hurgronje pernah menyatakan bahwa kisah tentang Sultan Iskandar Muda hanya dongeng belaka. Sayangnya, Horgronje hanya mendasari penelitiannya pada karya-karya klasik Melayu, seperti Bustan al-Salatin, Hikayat Aceh, dan Adat Aceh. Sejarah Aceh rupanya dipahami Horgronje secara keliru.

Sultan Iskandar Muda merupakan Raja paling berpengaruh pada Kerajaan Aceh. Ia lahir di Aceh pada tahun 1593. Nama kecilnya adalah Perkasa Alam. Dari pihak ibu, Sultan Iskandar Muda merupakan keturunan dari Raja Darul-Kamal, sedangkan dari pihak ayah ia merupakan keturunan Raja Makuta Alam. Ibunya bernama Putri Raja Indra Bangsa, atau nama lainnya Paduka Syah Alam, yang merupakan anak dari Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10. Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan Sultan Mansyur Syah, putra dari Sultan Abdul Jalil (yang merupakan putra dari Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahhar, Sultan Aceh ke-3). Jadi, sebenarnya ayah dan ibu dari Sultan Iskandar Muda merupakan sama-sama pewaris kerajaan.

Sultan Iskandar Muda menikah dengan seorang putri dari Kesultanan Pahang, yang lebih dikenal dengan Putroe Phang. Dari hasil pernikahan ini, Sultan Iskandar Muda dikaruniai dua buah anak, yaitu Meurah Pupok dan Putri Safiah. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.

Perjalanan Sultan Iskandar Muda ke Johor dan Melaka pada 1612 sempat berhenti di sebuah Tajung (pertemuan sungai Asahan dan Silau) untuk bertemu dengan Raja Simargolang. Sultan Iskandar Muda akhirnya menikahi salah seorang puteri Raja Simargolang yang kemudian dikaruniai seorang anak bernama Abdul Jalil (yang dinobatkan sebagai Sultan Asahan).

Sultan Iskandar Muda mulai menduduki tahta Kerajaan Aceh pada usia yang terbilang cukup muda (14 tahun). Ia berkuasa di Kerajaan Aceh antara 1607 hingga 1636, atau hanya selama 29 tahun. Kapan ia mulai memangku jabatan raja menjadi perdebatan di kalangan ahli sejarah. Namun, mengacu pada Bustan al-Salatin, ia dinyatakan sebagai sultan pada tanggal 6 Dzulhijah 1015 H atau sekitar Awal April 1607. Masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda tersebut ini dikenal sebagai masa paling gemilang dalam sejarah Kerajaan Aceh Darussalam. Ia dikenal sangat piawai dalam membangun Kerajaan Aceh menjadi suatu kerajaan yang Kuat, Besar, dan tidak saja disegani oleh Kerajaan-Kerajaan lain di nusantara, namun juga oleh dunia luar. Pada masa kekuasaannya, Kerajaan Aceh termasuk dalam Lima Kerajaan Terbesar di Dunia.

Langkah utama yang ditempuh Sultan Iskandar Muda untuk memperkuat kerajaan adalah dengan membangun angkatan perang yang umumnya diisi dengan tentara-tentara muda. Sultan Iskandar Muda pernah menaklukan Deli, Johor, Bintan, Pahang, Kedah, dan Nias sejak tahun 1612 hingga 1625. Sultan Iskandar Muda juga sangat memperhatikan tatanan dan peraturan perekonomian kerajaan. Dalam wilayah kerajaan terdapat bandar transito (Kutaraja, kini lebih dikenal Banda Aceh) yang letaknya sangat strategis sehingga dapat menghubungkan roda perdagangan kerajaan dengan dunia luar, terutama negeri Barat. Dengan demikian, tentu perekonomian kerajaan sangat terbantu dan meningkat tajam.

Menurut tradisi Aceh, Sultan Iskandar Muda membagi wilayah Aceh ke dalam wilayah administrasi yang dinamakan Ulèëbalang dan Mukim ; ini dipertegas oleh laporan seorang penjelajah Perancis bernama Beauliu, bahwa "Iskandar Muda membabat habis hampir semua bangsawan lama dan menciptakan bangsawan baru." Mukim pada awalnya adalah himpunan beberapa desa untuk mendukung sebuah masjid yang dipimpin oleh seorang Imam (Imeum). Ulèëbalang (Hulubalang) pada awalnya barangkali bawahan utama Sultan, yang dianugerahi Sultan beberapa Mukim, untuk dikelolanya sebagai Pemilik Feodal.

HUBUNGAN DENGAN BANGSA LUAR

Sultan Iskandar Muda dikenal memiliki hubungan yang sangat baik dengan Eropa. Konon, ia pernah menjalin komunikasi yang baik dengan Inggris, Belanda, Perancis, dan Ustmaniyah Turki. Sebagai contoh, pada abad ke-16 Sultan Iskandar Muda pernah menjalin komunikasi yang harmonis dengan Kerajaan Inggris yang pada saat itu dipegang oleh Ratu Elizabeth I. Melalui utusannya, Sir James Lancester, Ratu Elizabeth I memulai isi surat yang disampaikan kepada Sultan Iskandar Muda. Berikut cuplikan isi surat Sultan Iskandar Muda, yang masih disimpan oleh pemerintah sampai saat ini, tertanggal tahun 1585 :

" I am the mighty ruler of the Regions below the wind, Who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset."

" Hambalah sang Penguasa Perkasa Negeri-Negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas Tanah Aceh dan atas Tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah-wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam" 

Pada masa pemerintahannya, terdapat sejumlah Ulama besar. Di antaranya adalah Syiah Kuala sebagai mufti besar di Kerajaan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda. Hubungan keduanya adalah sebagai penguasa dan ulama yang saling mengisi proses perjalanan roda pemerintahan. Hubungan tersebut diibaratkan: "Adat bak Peutoe Meureuhom, Hukom bak Syiah Kuala " ( Adat di bawah kekuasaan Sultan, Kehidupan hukum beragama di bawah keputusan Tuan Syiah Kuala). Sultan Iskandar Muda juga sangat mempercayai ulama lain yang sangat terkenal pada saat itu, yaitu Syeikh Hamzah Fanshuri dan Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani. Kedua ulama ini juga banyak mempengaruhi kebijakan Sultan. Kedua merupakan sastrawan terbesar dalam sejarah nusantara

Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri Dinasti Oranje Belanda juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid.

Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para Pembesar - Pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.

Sultan Iskandar Muda mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Utsmaniyah yang berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun Sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu Kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Iskandar Muda.

Saat itu Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Iskandar Muda. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi Sang Sultan. Dalam bukunya, Denys Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga.

Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya Kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari Dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Daruddunya (Kini Meuligo Aceh, Kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (Sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah Sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.

Sultan Iskandar Muda meninggal di Aceh pada tanggal 27 Desember 1636, dalam usia yang terbilang masih cukup muda, yaitu 43 tahun. Oleh karena sudah tidak ada anak laki-lakinya yang masih hidup, maka tahta kekuasaanya kemudian dipegang oleh menantunya, Sultan Iskandar Thani (1636-1641). Setelah Sultan Iskandar Tani wafat tahta kerajaan kemudian dipegang janda Iskandar Tani, yaitu Sultanah Tajul Alam Syafiatudin Syah atau Puteri Safiah (1641-1675), yang juga merupakan puteri dari Sultan Iskandar Muda.

SOSOK DAN PEMIKIRAN-PEMIKIRAN SANG SULTAN

Sultan Iskandar Muda merupakan pahlawan nasional yang telah banyak berjasa dalam proses pembentukan karakter yang sangat kuat bagi nusantara dan Indonesia. Selama menjadi raja, Sultan Iskandar Muda menunjukkan sikap Anti-kolonialisme-nya. Ia bahkan sangat tegas terhadap kerajaan-kerajaan yang membangun hubungan atau kerjasama dengan Portugis, sebagai salah satu penjajah pada saat itu. Sultan Iskandar Muda mempunyai karakter yang sangat tegas dalam menghalau segala bentuk dominasi kolonialisme. Sebagai contoh, Kurun waktu 1573-1627 Sultan Iskandar Muda pernah melancarkan jihad perang melawan Portugissebanyak 16 kali, meski semuanya gagal karena kuatnya benteng pertahanan musuh. Kekalahan tersebut menyebabkan jumlah penduduk turun drastis, sehingga Sultan Iskandar Muda mengambil kebijakan untuk menarik seluruh pendudukan di daerah-daerah taklukannya, seperti di Sumatera Barat, Kedah, Pahang, Johor danMelaka, Perak, serta Deli , untuk migrasi ke daerah Aceh inti.

Pada saat berkuasa, Sultan Iskandar Muda membagi aturan hukum dan tata negara ke dalam Empat bidang yang kemudian dijabarkan secara praktis sesuai dengan tatanan kebudayaan masyarakat Aceh. 
Pertama, bidang Hukum yang diserahkan kepada Syaikhul Islam atau Qadhi Malikul Adil. Hukum merupakan asas tentang jaminan terciptanya keamanan dan perdamaian. Dengan adanya hukum diharapkan bahwa peraturan formal ini dapat menjamin dan melindungi segala kepentingan rakyat. 
Kedua, bidang Adat yang diserahkan kepada kebijaksanaan Sultan dan Penasehat. Bidang ini merupakan perangkat undang-undang yang berperan besar dalam mengatur tata negara tentang martabat hulu balang dan pembesar kerajaan. 
Ketiga, bidang Resam yang merupakan urusan Panglima. Resam adalah peraturan yang telah menjadi adat istiadat (kebiasaan) dan diimpelentasikan melalui perangkat hukum dan adat. Artinya, setiap peraturan yang tidak diketahui kemudian ditentukan melalui resam yang dilakukan secara gotong-royong. 
Keempat, bidang Qanun yang merupakan kebijakan Maharani Putro Phang sebagai permaisuri Sultan Iskandar Muda. Aspek ini telah berlaku sejak berdirinya Kerajaan Aceh. 

Sultan Iskandar Muda dikenal sebagai raja yang sangat tegas dalam menerapkan Syariat Islam. Ia bahkan pernah melakukan Rajam terhadap puteranya sendiri, yang bernama Meurah Pupok karena melakukan perzinaan dengan istri seorang perwira. Sultan Iskandar Muda juga pernah mengeluarkan kebijakan tentang pengharaman riba. Tidak aneh jika kini Nanggroe Aceh Darussalam menerapkan Syariat Islam karena memang jejak penerapannya sudah ada sejak zaman dahulu kala. Sultan Iskandar Muda juga sangat menyukai Tasawuf.

Sultan Iskandar Muda pernah berwasiat agar mengamalkan Delapan Perkara, Sang Sultan berwasiat kepada para Wazir, Hulubalang, Pegawai, dan Rakyat di antaranya adalah sebagai berikut : 

Pertama, agar selalu ingat kepada Allah Ta'ala dan memenuhi janji yang telah diucapkan. 
Kedua, jangan sampai para Raja menghina Alim Ulama dan Ahli Bijaksana. 
Ketiga, jangan sampai para Raja percaya terhadap apa yang datang dari pihak musuh. 
Keempat, para Raja diharapkan membeli banyak senjata. Pembelian senjata dimaksudkan untuk meningkatkan kekuatan dan pertahanan kerajaan dari kemungkinan serangan musuh setiap saat. 
Kelima, hendaknya para raja mempunyai sifat Pemurah (turun tangan). Para raja dituntut untuk dapat memperhatikan nasib rakyatnya. 
Keenam, hendaknya para raja menjalankan hukum berdasarkan Al-Qur‘an dan Sunnah Rasul. 
Ketujuh, di samping kedua sumber tersebut, sumber hukum lain yang harus dipegang adalah Qiyas dan Ijma‘. 
Kedelapan, baru kemudian berpegangan pada Hukum Kerajaan , Adat , Resam, dan Qanun. 

Wasiat-wasiat tersebut mengindikasikan bahwa Sultan Iskandar Muda merupakan pemimpin yang saleh, bijaksana, serta memperhatikan kepentingan Agama, Rakyat, dan Kerajaan.

Hamka melihat kepribadian Sultan Iskandar Muda sebagai pemimpin yang saleh dan berpegangan teguh pada prinsip dan syariat Islam. Tentang kepribadian kepemimpinannya, Antony Reid melihat bahwa Sultan Iskandar Muda sangat berhasil menjalankan kekuasaan yang otoriter, sentralistis, dan selalu bersifat ekspansionis. Karakter Sultan tersebut memang banyak dipengaruhi oleh sifat kakeknya. Kejayaan dan kegemilangan Kerajaan Aceh pada saat itu memang tidak luput dari karakter kekuasaan monarkhi karena model kerajaan berbeda dengan konsep kenegaraan modern yang sudah demokratis.

Surat Sultan Iskandar Muda kepada Raja Inggris King James I, Pada tahun 1615 merupakan salah satu karyanya yang sungguh mengagumkan. Surat (manuskrip) tersebut berbahasa Melayu, dipenuhi dengan hiasan yang sangat indah berupa motif-motif kembang, tingginya mencapai satu meter, dan konon katanya surat itu termasuk Surat Terbesar Sepanjang Sejarah. Surat tersebut ditulis sebagai bentuk keinginan kuat untuk menunjukkan kepada Dunia internasional betapa pentingnya Kerajaan Aceh Darussalam sebagai Kekuatan Utama di Dunia.

PENGHARGAAN

Melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 077/TK/Tahun 1993 tanggal 14 September 1993, Sultan Iskandar Muda dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Pemerintah RI serta mendapat tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana (Kelas II). Sebagai wujud pernghargaan terhadap dirinya, nama Sultan Iskandar Muda diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah daerah di Tanah Air, Nama Sultan telah di Abadikan sebagai Kapal Perang KRI Sultan Iskandar Muda, Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda dan Kodam Iskandar Muda Nanggroe Aceh Darussalam.


Sumber: atjehcyber.net

Posting Komentar

 
Top